Jumat, 04 Oktober 2013

DAMPAK PELEMAHAN NILAI TUKAR RUPIAH


Dewasa ini kita sering mendengar dari berbagai media masa mengenai  nilai tukar Rupiah Indonesia yang cenderung melemah terhadap dollar Amerika. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, sejak pertengahan bulan Juli 2013 rupiah tercatat melemah dan menembus level psikologis Rp 10.000 per dollar AS. Ada begitu banyak pandangan dan kritik dari berbagai pihak terutama yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia terkait dengan pelemahan rupiah yang terjadi. Namun ternyata pelemahan nilai tukar ini tidak hanya terjadi pada rupiah saja karena faktanya mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) seperti Turki, India dan Brazil juga mengalami pelemahan nilai tukar. Selama Juni-Agustus 2013, nilai tukar Lira Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai tukar Rupee India jatuh sebesar 20 persen; dan nilai tukar Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15 persen. Trend melemahnya nilai tukar mata uang beberapa negara emerging markets selama Juni-Agustus 2013 bisa dilihat dalam grafik di bawah ini:

Graph01-Wells 
Grafik 1
Nilai Tukar Mata Uang Emerging Markets vs. Dollar AS, Januari-Agustus 2013


A.           Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Pelemahan Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh relasi penawaran-permintaan (supply-demand) atas mata uang tersebut. Jika permintaan atas sebuah mata uang meningkat, sementara penawarannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan naik. Kalau penawaran sebuah mata uang meningkat, sementara permintaannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan melemah. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang menyebabkan penawaran Rupiah tinggi, sementara permintaannya rendah? Setidaknya ada dua faktor yang meyebabkan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika, yakni :
1.      Keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia.
Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai tukar Rupiah, karena dalam proses ini, investor menukar Rupiah dengan mata uang negara lain untuk diinvestasikan di negara lain. Artinya, terjadi peningkatan penawaran atas Rupiah karena arus keluar investasi asing dari Indoensia. Adapun indikasi dari keluarnya investasi portofolio asing ini bisa dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung menurun seiring dengan kecenderungan menurun dari Rupiah. Dalam grafik di bawah, kita bisa lihat bahwa IHSG mengalami kecenderungan menurun sejak Juni 2013:
 
Graph02-Bloomberg  
Grafik 2
IHSG April-Agustus 2013

Salah satu alasan investor asing yang menarik dananya dari Indonesia adalah karena rencana the Fed (Bank sentral AS) untuk mengurangi Quantitative Easing (QE). Rencana ini dinyatakan oleh Ketua the Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres Amerika Serikat pada 22 Mei 2013. Tidak lama setelah itu, mata uang di beberapa negara emerging markets pun anjlok (Grafik 1). Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program the Fed untuk mencetak uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari bank-bank di AS. Program ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank di AS demi pemulihan diri pasca-krisis finansial 2008.
Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS telah membaik. Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS akan naik. Inilah ekspektasi para investor portofolio yang mengeluarkan modalnya dari negara-negara emerging markets. Mereka melihat bahwa untuk kedepannya, investasi portofolio di AS akan lebih menguntungkan daripada di negara-negara emerging markets. Dalam tiga bulan terakhir, yield obligasi jangka panjang pemerintah AS sendiri telah naik. Sebagai contoh, yield obligasi 10-tahun pemerintah AS yang menjadi benchmark, naik sekitar 125 bps dalam tiga bulan terakhir.
2.      Neraca nilai perdagangan Indonesia yang defisit.
Neraca Perdagangan adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang seluruh transaksi ekonomi yang meliputi perdagangan barang / jasa antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain untuk suatu periode waktu tertentu. Dalam neraca perdagangan Indonesia pos-pos neraca diklasifikan secara garis besar menjadi dua, yakni migas dan nonmigas. Suatu neraca perdagangan dikatakan defisit apabila jumlah pembayaran lebih besar daripada jumlah penerimaan (transaksi kredit < transaksi debet), atau dengan kata lain ekspor lebih kecil daripada impor. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel 1 di bawah ini.


Tabel 1
Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Januari-Juli 2013
(Miliar US$)

Ekspor
Impor
Neraca
Bulan
Migas
Nonmigas
Total
Migas
Nonmigas
Total
Migas
Nonmigas
Total
Januari
2,66
12,72
15,38
3,97
11,48
15,45
-1,31
1,24
-0,07
Februari
2,57
12,45
15,02
3,64
11,67
15,31
-1,07
0,78
-0,29
Maret
2,93
12,09
15,02
3,90
10,99
14,89
-0,97
1,10
-0,13
April
2,45
12,31
14,76
3,63
12,83
16,46
-1,18
-0,52
-1,70
Mei
2,92
13,21
16,13
3,44
13,22
16,66
-0,52
-0,01
-0,53
Juni
2,80
11,96
14,76
3,53
12,11
15,64
-0,73
-0,15
-0,88
Juli
2,28
12,83
15,11
4,14
13,28
17,42
-1,86
-0,45
-2,31
Jan-Juli
18,61
87,57
106,18
26,25
85,58
111,83
-7,64
1,99
-5,65
Sumber :   Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, No. 58/09/Th. XVI, 2 September 2013, hlm. 14, http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_02sep13.pdf.
Berdasarkan tabel 1, defisit neraca nilai perdagangan Indonesia selama Januari-Juli 2013 adalah -5,65 miliar Dollar AS. Sektor nonmigas sebenarnya mengalami surplus 1,99 miliar Dollar AS, namun, surplus di sektor nonmigas tidak bisa mengimbangi defisit yang sangat besar di sektor migas, yakni sebesar -7,64 miliar Dollar AS. Dinamika ekspor-impor memang bisa berdampak pada nilai tukar mata uang suatu Negara. Ekspor meningkatkan permintaan atas mata uang negara eksportir, karena dalam ekspor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara tujuan dengan mata uang negara eksportir. Pertukaran ini terjadi karena si eksportir membutuhkan hasil akhir ekspor dalam bentuk mata uang Negaranya agar bisa ia pakai dalam usahanya. Sebaliknya, impor meningkatkan penawaran atas mata uang negara importir, karena dalam impor, biasanya terjadi pertukaran mata uang Negara importir dengan mata uang Negara asal. Karena selama Januari-Juli 2013, impor Indonesia lebih besar daripada ekspornya, maka situasi ini telah menyebabkan pelemahan nilai tukar Rupiah.

B.            Dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah
Setelah membahas faktor-faktor yang menyebabkan melemahnya nilai tukar Rupiah di sepanjang tahun 2013, yang menjadi pertnayaan selanjutnya adalah bagiamanakah dampak pelemahan Rupiah terhadap kondisi perekonomian dalam negeri? Ketika nilai tukar sebuah mata uang melemah, maka yang biasanya mencolok terkena dampaknya adalah harga komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi maupun alat produksi (bahan baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor dipatok dengan mata uang negara asal (eksportir), maka jika nilai mata uang negara tujuan (importir) jatuh, harga komoditi impor akan naik. Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah jatuh sebesar 10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar AS = 9.900 Rupiah, maka harga komoditi impor pun akan naik sebesar 10%. Komoditi yang harganya Rp1 juta akan naik Rp100 ribu menjadi Rp1,1 juta. Dari data BPS, kita bisa lihat inflasi di bulan Juni adalah 1,03 persen, lalu meningkat menjadi 3,29 persen pada Juli. Sementara, pada bulan Agustus, inflasi menurun menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2013 adalah 7,94 persen dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak 2009. Untuk barang konsumsi, yang harganya akan naik bukan hanya barang-barang konsumsi impor, namun juga barang-barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri, tetapi (sebagian besar) alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor. Harga tahu tempe, misalnya, naik 20-25 persen, karena bahan bakunya berupa kedelai diimpor.  Untuk mengetahui secara lebih rinci mengenai perbandingan antara impor barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Impor Indonesia Menurut Golongan Penggunaan Barang Januari-Juli 2013
Penggunaan Golongan Barang
Nilai CIF (Juta US$) Januari-Juli 2013
Peran terhadap Total Impor Januari-Juli 2013 (%)
Barang Konsumsi
7.799,0
6,97
Bahan Baku/Penolong
85.162,4
76,16
Barang Modal
18.867,0
16,87
Total Impor
111.828,4
100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, op. cit., hlm. 12.
Berdasarkan tabel 2, proporsi impor terbesar pada Januari-Juli 2013 adalah impor bahan baku/penolong, yakni 76,16% dari total impor. Kemudian urutan kedua ditempati oleh impor barang modal (mesin-mesin, dan sebagainya), sebesar 16,87% dari total impor. Di urutan terakhir baru kita dapati impor barang konsumsi dengan besaran 6,97% dari total impor. Dari data ini, kita bisa menduga bahwa penggunaan alat-alat produksi impor dalam industri Indonesia cukup tinggi. Dengan demikian pihak-pihak yang diperkirakan paling merasakan dampak dari  kenaikan harga komoditi impor ini antara lain :
·         Konsumen, terutama konsumen kelas bawah. Pada umumnya para pengusaha akan membebankan Biaya Produksi yang tinggi kepada para konsumen sehingga pendapatan konsumen kelas bawah dipastikan tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang.
·         Pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai pengecer. Mengingat daya beli masyarakat yang semakin menurun akibat harga komoditi yang tinggi maka pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor akan mengalami penurunan omset. Misalnya, belakangan ini, para importir bahan kebutuhan pokok di Batam sudah menghentikan aktivitas usahanya.
·          Para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti pengusaha tekstil, alas kaki, kemasan, temped an tahu, ayam potong dan sebagainya.
·          Rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai utang luar negeri, dan penyusutan pasar dalam negeri.
Namun di sisi lain, ternyata melemahnya nilai Rupiah bukan hanya berdampak pada kenaikan harga komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah kenaikan nominal. Ketika Rupiah mengalami pelemahan terhadap dollar maka utang luar negeri Indonesia akan semakin membesar mengingat utang luar negeri Indonesia didominasi oleh utang kepada Amerika Serikat. Logikanya sama dengan dampak pelemahan Rupiah pada komoditi impor. Jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah berbanding Dollar AS jatuh sebesar 30%, maka nominal Rupiah dari utang yang dipatok dalam Dollar AS akan naik sebesar 30%. Sampai dengan Maret 2013, total utang luar negeri Indonesia adalah 254,295 miliar Dollar AS, dengan utang pemerintah dan bank sentral sebesar 124,151 miliar Dollar AS serta utang swasta sebesar 130,144 miliar Dollar AS. Dengan demikian pihak-pihak yang diperkirakan paling merasakan dampak dari  kenaikan nominal ini antara lain :
·         Untuk utang swasta adalah pengusaha yang berutang, dan para pekerjanya yang akan ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut.
·         Untuk utang pemerintah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dimana ketika anggaran terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi untuk rakyat, sehingga rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya.

Di sisi lainya, pelemahan Rupiah ternyata tidak selalu berdampak buruk atau negatif. Ada sebagian pihak-pihak yang diuntungkan dengan pelemahan Rupiah yang terjadi.  Jika mata uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor ekspor yang bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Misalnya, PT Energizer Indonesia yang memproduksi baterai Eveready yang sebagian besarnya diekspor, eksportir udang, dan eksportir kakao di Sulawesi Selatan. Namun, ini tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari kenaikan harga barang ekspor itu “dibatalkan” oleh harga bahan baku impornya yang mahal.

C.           Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah Yang Berimbas Pada APBN 2013
Melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terutama pada dollar USD dipicu oleh impor bahan bakar minyak yang dilakukan oleh pihak pertamina yang terus meningkat pada bulan april hingga bulan mei 2013, Impor BBM yang besar membuat neraca perdagangan defisit dan menekan kebutuhan valuta asing dalam negeri.
Saat kondisi kebutuhan valas mulai meningkat, namun dari sisi keuangan pasokan valas di pasar domestik tidak terlalu banyak. Hal ini menyebabkan para investor mulai mengurangi investasi ke Indonesia.
Pelemahan nilai tukar meningkatkan penerimaan sumber daya alam (SDA), namun sekaligus menambah beban subsidi energi. Persoalan menjadi lebih rumit dengan adanya perkiraan kenaikan volume konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dari volume yang disepakati dalam UU APBN 2013. Mengingat bahan baku BBM ini sebagian diimpor, maka kenaikan volume konsumsi BBM bersubsidi tidak saja membebani sektor fiskal, tetapi juga memperburuk kondisi neraca pembayaran Indonesia, yang mengalami defisit neraca migas.
Sebab dari defisit neraca pembayaran pada sektor migas yang langsung berimbas pada Asumsi dasar makro ekonomi nilai tukar rupiah. Dalam hal penyusunan APBN diperlukan adanya suatu landasan atau dasar hukum ekonomi yang berkembang, maka dari itu muncul adanya suatu asumsi untuk memprediksi laju perkembangan indikator- indikator ekonomi dalam APBN.
 Asumsi dasar makro ekonomi nilai tukar rupiah yang dipakai dalam APBN 2013 dari Rp 9.300 dan berubah menjadi Rp 9.600 dalam APBN-P 2013 pos belanja non kementerian / lembaga yaitu (subsidi).

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, berikut kami sampaikan beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. Langkah-langkah yang diambil dibagi kedalam empat paket sebagai berikut :
-               Paket Pertama
Paket yang dibuat terkait dengan upaya memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah:
1.    Pemerintah akan melakukan langkah mendorong ekspor dengan memberikan deduction tax pada sektor ekspor minimal 30% dari produksi.
2.    Menurunkan impor migas. Dengan meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam porsi solar sehingga akan mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor. Kebijakan ini akan menurunkan impor migas secara signifikan.
3.    Menetapkan pengenaan pajak Bea Masuk yang berasal dari barang impor seperti mobil CBU, barang bermerek yang sekarang 75% akan menjadi 125% sampai 150%.
4.    Melakukan langkah memperbaiki ekspor mineral dengan memberikan relaksasi prosedur terkait kuota.
-        Paket Kedua
Paket ini bertujuan menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Pemerintah akan memberikan insentif dengan tetap memastikan bahwa defisit fiskal berada pada kisaran 2,38%. Dengan menjaga defisit pada batas aman ini pemerintah memastikan pembiayaan APBNP 2013 dalam kondisi aman. Adapun insentif yang diberikan terkait dengan:
1.      Tax deduction pada industri padat karya.
2.    Relaksasi fasilitas kawasan berikat.
3.    Penghapusan PPN Buku.
4.    Penghapusan PPN dasar yang sudah tak tergolong barang mewah.
5.    Pentingnya menjaga menjaga UMP untuk mencegah terjadi PHK dengan skema kenaikan UMP yang mengacu pada KHL produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan membedakan kenaikan upah minimum industri, UMK, industri padat karya, dan industri padat modal.
6.    Insentif dalam jangka menengah addition deduction untuk litbang.
7.    Mengoptimalkan penggunaan tax allowance untuk insentif investasi.
-        Paket Ketiga
Paket ketiga ini tujuannya untuk menjaga daya beli masyarakat dan inflasi. Pemerintah akan berkoordinasi dengan BI. Dari sisi pemerintah untuk mengatasi inflasi atau harga yang bergejolak atau volatile food, pemerintah akan ubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari pembatasan sistem kuota menjadi mekanisme yang andalkan harga.
-                 Paket Keempat
Paket keempat ini terkait dengan mempercepat investasi. Pemerintah akan mengambil langkah:
1.    Menyederhanakan perizinan dengan mengefektifkan fungsi pelayanan satu pintu dan menyederhanakan jenis perizinan yang menyangkut kegiatan investasi. Sebagai contoh saat ini sudah ada perizinan investasi hulu migas dari 69 jenis menjadi hanya 8 perizinan.
2.    Mempercepat dan saat ini sudah dirampungkan adalah revisi PP tentang DNI (Daftar Negatif Investasi) yang lebih ramah bagi investor.
3.    Mempercepat program investasi berbasis agro, CPO, kakaa, rotan, mineral, logam, bauksit, nikel dan tembaga dengan memberikan insentif berupa tax holiday dan tax allowance serta percepatan renegosiasi kontrak karya dan PKP2B.
"The bottlenecking masalah proyek adalah salah satu perhatian kita untuk itu investasi yang sudah strategis seperti pembangkit, migas, infrastruktur akan dipercepat proses penyelesaiannya," ujar Hatta. (Igw)