Melawan Krisis Pangan
Ancaman krisis pangan kian nyata. Sejumlah negara eksportir pangan jauh-jauh hari tidak mengobral ekspor pangan produksi mereka. Thailand dan Vietnam, dua negara eksportir beras nomor pertama dan kedua dunia itu, memperketat ekspor beras.
Akibat kebijakan itu, diperkirakan harga beras tahun ini bakal naik dua kali lipat. Diperkirakan hal serupa terjadi pada gandum dan pangan lain. Eksportir gandum utama, Australia, dilanda banjir besar. Hal serupa menimpa eksportir pangan Brasil. Kenaikan harga pangan hanya menunggu waktu.
Saat itu terjadi negara importir neto pangan akan terpukul. Tanda-tanda krisis pangan juga tampak dari kenaikan indeks harga pangan. Seperti dilansir FAO, indeks harga pangan Desember 2010 mencapai 215, naik signifikan ketimbang sebulan sebelumnya (206).Angka ini sudah melampaui nilai indeks harga pangan tertinggi ketika tripel krisis, krisis keuangan- energi-pangan, terjadi tahun 2008 (213,5).
Krisis pangan 2007-2008 parah karena sejumlah negara menutup ekspor pangan. Mereka khawatir pasokan pangan domestik berkurang. Ini membuat pasar panik. Jika langkah itu jadi kebijakan generik banyak negara, krisis pangan tahun ini akan meledak.
Krisis pangan bisa dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sejak Desember, harga BBM terus naik dan sudah menembus USD100 per barel. Kenaikan harga BBM bakal membuat biaya produksi pangan meningkat. Pada saat yang sama, kenaikan harga BBM membuat sejumlah pangan biji-bijian, terutama yang mengandung minyak-lemak (seperti tebu, kelapa sawit, kedelai, jagung), bakal dikonversi dari pangan menjadi bahan bakar (biofuel).
Kenaikan harga BBM membuat bahan bakar dari bahan pangan semakin kompetitif. Krisis pangan 2007-2008 meledak, salah satunya dipicu oleh konversi (besar-besaran) pangan jadi bahan bakar, terutama di negara maju.
Bagi Indonesia, ancaman krisis pangan bukan kemustahilan .Sebagai negara agraris, Indonesia bisa terjerembab pada krisis pangan akut. Ini terjadi karena kebijakan-kebijakan yang diambil bukannya memperkuat kedaulatan pangan, sebaliknya justru kian menyandera Indonesia pada ketergantungan impor pangan tak berkesudahan.
Salah satu kebijakan gegabah dan ceroboh itu adalah pembebasan bea masuk selama setahun 57 pos tarif komoditas beras, gandum, kedelai, bahan baku pupuk dan pakan ternak. Kebijakan ini hanya akan memperderas arus pangan impor, dan menekan produk pangan domestik. Beras misalnya.
Akhir Februari nanti akan panen raya. Sejarah perberasan puluhan tahun mengajarkan, pada saat panen raya harga gabah/beras jatuh. Apabila pada saat yang sama pasar domestik diserbu beras impor dengan harga murah, harga beras akan terjerembab jatuh lebih dalam.
Bulog yang diharapkan menjadi penolong sering kali tersandera kalkulasi untung-rugi. Kalau Bulog melakukan pembelian gabah/beras besar-besaran ada peluang besar merugi.
Jika merugi, direksi dinilai tidak performkarena ukuran keberhasilan direksi adalah menyetorkan keuntungan ke negara. Sebaliknya, kalau abai pada gabah/beras produksi petani, Bulog dihujat. Dalam sandera kalkulasi untung-rugi, Bulog sering kali lepas tangan.
Akibatnya, petani yang miskin semakin miskin. Dalam hal gandum idem ditto. Pembebasan bea masuk gandum hanya akan memperdalam ketergantungan kita pada pangan impor itu. Padahal, negeri ini kaya sumber daya domestik yang bisa menyubstitusi gandum.
Pada saat yang sama, negara kehilangan potensi pajak. Pembebasan bea masuk gandum misalnya, membuat negara merugi Rp840 miliar. Ini belum termasuk bea masuk kedelai, jagung, dan komoditas lain. Jadi, sebenarnya kita merugi dua kali: diserbu pangan impor dan kehilangan pendapatan.
Sampai saat ini, neraca ekspor-impor Indonesia dalam subsektor tanaman pangan masih negatif. Tahun 2008, defisit subsektor tanaman pangan mencapai USD3.178 juta atau Rp31,78 triliun (kurs Rp10.000 per dolar AS).
Angka ini sekira tiga persen APBN, jauh di atas anggaran Departemen Pertanian 2009 (Rp8,4 triliun). Jika ditambah defisit subsektor peternakan, nilainya jadi Rp43,82 triliun, melampaui keseluruhan anggaran pembangunan pertanian (Rp40 triliun per tahun).
Sampai saat ini kita belum bisa keluar dari ketergantungan impor sejumlah pangan penting: susu (90 persen dari kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen),kedelai (70 persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur. Padahal, kecuali gandum, pangan impor ini sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri.
Tanpa kebijakan tegas, terukur dan berdimensi jangka panjang impor pangan akan terus membesar, dan salah kelola pertanian pangan berlanjut tanpa ada koreksi. Kunci keberhasilan melawan krisis pangan adalah keragaman pangan.
Sukun, sagu, dan ubi kayu yang relatif lebih tahan pada musim basah yang berkepanjangan perlu digalakkan. Potensi umbiumbian Indonesia amat besar. Sumber daya yang beragam ini jadi modal penting karena lebih pejal terhadap anomali iklim dan cuaca. Ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memberi pangan dunia.
Di masa lalu, sumber daya yang beragam ini jadi modal penting kedaulatan pangan rumah tangga, dan komunitas. Karena itu, mengembalikan pola pangan beragam jadi cara ampuh melawan krisis pangan. Negeri ini pernah memiliki tradisi pangan lokal-adaptif yang luar biasa ragam-jenisnya.
Sejarah mencatat gaplek (Lampung, Jateng, Jatim),sagu (Maluku,Papua), jagung (Jateng, Jatim, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama bertahun- tahun.
Pola makan unik, khas, beragam, dan adaptif terhadap lingkungan itu diwariskan turun-temurun dan terbukti mampu menjamin kedaulatan pangan warga. Berkat rekayasa negara lewat adopsi teknologi introduksi, secara dramatis pola makan bergeser ke satu jenis: beras.
Dalam struktur diet makanan, pada 1954 pangsa beras baru mencapai 53,5 persen. Sisanya, dari ubi kayu (22,6 persen), jagung (18,9 persen) dan kentang (4,99 persen). Namun, pada 1987 atau tiga tahun setelah swasembada beras terjadi pergeseran luar biasa: beras mendominasi struktur diet makanan dengan pangsa 81,1 persen, disusul ubi kayu (10,02 persen) dan jagung (7,82 persen).
Kini, semua perut warga tergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen. Untuk mengembalikan pangan yang beragam, pertama, kampanye diversifikasi pangan tidak cukup dengan imbauan tapi harus dilakukan secara struktural lewat aparatus negara dan perangkat-perangkatnya.
Yang tak kalah penting adalah pencitraan pangan-pangan lokal lewat promosi. Mi instan bisa jadi makanan yang menembus lintas batas sosial seperti sekarang karena sukses pencitraan masif dan terus-menerus lewat iklan. Kedua, kampanye harus dibarengi ketersediaan pangan lokal dalam jumlah cukup, tersedia kapan saja dan di mana saja, harganya terjangkau kantong, rasanya enak, bergizi dan mudah dimasak.
Ini membuat ada insentif menekan konsumsi beras yang akut. Ketiga, ini yang cukup sulit, dilakukan secara konsisten, terencana, dan secara terus-menerus.(*)
referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar