Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diharapkan mampu memenuhi apa
yang menjadi hak-hak konsumen, realitanya belum berjalan sebagaimana mestinya.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan perlu berbenah diri dan memperhatikan hal
ini, agar hak-hak yang selama ini diidam-idamkan oleh konsumen dapat
terealisasi dengan baik dan sesuai harapan bersama.
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk
melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa
hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa
serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
(sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen)
Hukum-hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen yang dikemas
dengan baik dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen, selama ini sudah bisa
dikatakan berjalan dengan baik. Akan tetapi dalam kenyataan praktek di lapangan
masih ditemukan penyimpangan-penyimpangan terhadap apa yang tertuang dalam
undang-undang tersebut.
Terkait dengan kepengurusan dan pihak pelaksana undang - undang tersebut
adalah lembaga yang menangani masalah konsumen yaitu LPK (Lembaga Perlindungan
Konsumen) dan YLKI (Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia), dimana kedua
lembaga ini bertugas menangani masalah yang berkaitan antara produsen dengan
konsumen dalam hal hak mendapatkan kepuasaan dalam pembelian suatu produk atau
jasa, namun pemerintah pun belum full power dalam menangani masalah masalah
keluahan konsumen selama ini.
Fenomena perdagangan di Indonesia semakin tidak karuan, dimana banyaknya
beredar barang - barang palsu yang sulit dibedakan dan sangat meresahkan konsumen,
apabila pembeli tidak mampu (kurang jeli) dalam membedakan mana produk yang asli
atau palsu tentu mereka tertipu oleh produsen - produsen nakal yang selama ini
masih saja beroperasi di pasar Indonesia, namun kenyataannya pemerintah pun
kurang peduli akan hal itu, jarang sekali melakukan sosialisasi kepada
masyarakat bagaimana supaya masyarakat bisa memilih barang yang berkualitas
bagus atau tidak, bagaimana membedakan ini produk asli atau tidak. Inilah yang
seharusnya bias pemerintah lakukan guna mengurangi bahkan menghilangkan kasus
penipuan produk terhadap konsumen.
Fenomena berikutnya adalah masih beredarnya barang-barang yang kadaluarsa
di pasar, swalayan, dan pusat perbelanjaan lainnya, padahal apabila produk itu
dibeli oleh konsumen yang kurang cermat dalam membeli sebuah produk, itu akan
sangat merugikan pihak konsumen apalagi kesehatan itu adalah hal yang paling
diutamakan oleh semua orang.
Bagaimanakah fenomena ini di tahun mendatang? Apakah masih akan ada atau
terjadi? Belum dapat dipastikan. Apabila Pemerintah tegas dalam menangani
masalah ini mungkin semuanya akan lebih baik nanti sesuai yang kita bersama
harapkan.
Selanjutnya mengenai persoalan perlindungan konsumen sangat mungkin
terkait dengan adanya perdagangan bebas karena pengaruh globalisasi, apalagi
siklus perdangangan yang semakin cepat dapat memicu timbulnya ketidakjelasan
terhadap perlindungan konsumen pada saat ini. Apalagi ditunjang dengan
teknologi canggih, produsen mampu menghasilkan kapasitas produksinya melebihi
batas normal yang dapat memicu persaingan antar produsen tidak sehat dan
berdampak kepada perlindungan hak konsumen.
Sekarang ini bila kita amati sudah terjadi posisi
tawar menawar yang tidak sehat juga antara pemerintah dengan produsen yang
menimbulakn semuanya, disisi pemerintah ingin mendapatkan pemasukan pajak yang
lebih besar dan dari pihak produsen ingin meningkatkan laba yang sebesar
besarnya, justru itulah yang menimbulkan masalah.
Keterpurukan nasib konsumen “makin lengkap”
dengan maraknya praktik-praktik usaha yang tidak sehat/curang dalam berbagai
modus dan bentuknya di berbagai sektor atau tahap perniagaan. Berbagai
kecurangan (bahkan kejahatan) pelaku usaha sudah dimulai dan dapat terjadi
sejak tahap proses produksi, pemasaran, distribusi, sampai dengan tahap
konsumsi. Seringkali praktik usaha semacam ini dilakukan dengan justifikasi
untuk bertahan dalam/memenangkan persaingan usaha atau guna melipatgandakan
keuntungan. Di samping itu lemahnya pengawasan oleh instansi pemerintah atau
penegak hukum terkait, berdampak pada tumbuhnya praktik usaha yang unfair
tersebut yang akhirnya melahirkan kerugian di tingkat konsumen.
Serangkaian pertanyaan dan realita persoalan
konsumen tersebut di atas mengajak kita untuk mencari terobosan dalam
perencanaan dan pelaksanaan program-program perlindungan konsumen secara lebih
komprehensif agar hasilnya dapat lebih optimal.
Kelemahan konsumen akan pengetahuan atas produk
dan daya tawar merupakan faktor penting terjadinya beberapa kasus diatas.
Mereka juga pada umumnya lemah atau setidaknya mempunyai keterbatasan
dalam mengakses sumber-sumber daya ekonomi guna menopang kehidupan. Kekuatan
modal dan pasar telah melemahkan kedudukan konsumen, bahkan untuk melindungi
dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsumen disamping membutuhkan perlindungan juga
membutuhkan penguatan dan pemberdayaan untuk dapat meningkatkan daya tawar mereka
di hadapan pelaku usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar