Rabu, 04 Juli 2012

BELAJAR DARI PETRUK

Punakawan adalah sebutan umum untuk para pengikut ksatriya dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya para punakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, maupun wayang orang sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana.
Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para punakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut. Hal yang paling khas dari keberadaan punakawan adalah sebagai kelompok penebar humor di tengah-tengah jalinan cerita. Tingkah laku dan ucapan mereka hampir selalu mengundang tawa penonton.
Dalam percakapan antara para punakawan tidak jarang bahasa dan istilah yang mereka pergunakan adalah istilah modern yang tidak sesuai dengan zamannya. Namun hal itu seolah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dipermasalahkan. Misalnya, dalam pementasan wayang tokoh Petruk mengaku memiliki mobil atau handphone, padahal kedua jenis benda tersebut tentu belum ada pada zaman pewayangan.
Sejarah Punakawan
Pementasan wayang hampir selalu dibumbui dengan tingkah laku lucu para punakawan. Pada umumnya kisah yang dipentaskan bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Meskipun demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh punakawan. Hal ini dikarenakan punakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga Jawa sendiri. Menurut sejarawan Slamet Muljana, tokoh punakawan muncul pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan Mpu Panuluh pada zaman Kerajaan Kadiri.
Siapa sajakah Punakawan itu? Mereka adalah terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dalam bagian ini penulis mendapatkan batasan tugas yang menceritakan tokoh “Petruk”.
Tokoh Pewayangan Jawa “Petruk”
Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.
Menurut pedalangan, Petruk adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya Petruk bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang paling sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya. Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama. Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Nama lain Petruk adalah Kanthong Bolong, artinya suka berdema. Doblajaya, artinya pintar. Diantara saudaranya (Gareng dan Bagong) Petruklah yang paling pandai dan pintar bicara.
Petruk tinggal di Pecuk Pecukilan. Ia mempunyai satu anak yaitu Bambang Lengkung Kusuma (seorang yang tampan) istrinya bernama Dewi Undanawati. Sebagai punakawan Petruk selalu menghibur tuannya ketika dalam kesusahaan menerima cobaan, mengingatkan ketika lupa, membela ketika teraniaya. Intinya bisa momong, momot, momor, mursid dan murakabi.
1.      Momong    : artinya bisa mengasuh
2.      Momot       : artinya dapat memuat segala keluhan tuannya, dapat merahasiakan masalah
3.      Momor       : artinya tidak sakit hati ketika dikritik dan tidak mudah bangga kalau disanjung
4.      Mursid       : artinya pintar sebagai abdi, mengetahui kehendak tuannya
5.      Murakabi   : artinya bermanfaat bagi sesama
Pada suatu waktu Pandawa kehilangan jimat Kalimasada. kehilangan jimat ini artinya Pandawa lumpuh karena hilang kebijaksanaan dan kemakmuran, keangkaramurkaan timbul dimana-mana. Jimat ini dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu Bambang Irawan dan Bambang Priyambodo (anak Arjuna) dengan disertai Petruk berusaha merebut jimat tersebut dari tangan Mustakaweni. Akhirnya jimat tersebut berhasil direbut dan dititipkan kepada Petruk. Sementara itu ternyata Adipati Karna juga berhasrat memiliki jimat tersebut. petruk ditusuk dengan keris pusaka yang ampuh yaitu Kyai Jalak, Petrukpun mati seketika. Atas kesaktian ayahnya (Gandarwa) Petruk dihidupkan lagi. Kemudian ayahnya tersebut ingin menolong Petruk dengan berubah wujud menjadi Duryudana. ketika Karna bertemu Duryudana jimat kalimasada diserahkan kepadanya. Betapa terkejutnya Karna mengetahui telah diperdaya oleh Gandarwa. Akhirnya jimat tersebut oleh Gandarwa diserahkan kembali kepada Petruk, dan dia menasehati kalau menghadapi musuh Petruk harus hati-hati dan jimat tersebut diminta untuk diletakkan di atas kepalanya. Ternyata setelah jimat tersebut diterapkan sesuai anjuran ayahnya Petruk menjadi sangat sakti, tidak mempan senjata apapun. Karna-pun dapat dikalahkannya.
Tak terasa akhirnya Petruk terpisah dengan tuannya Bambang Irawan. Petrukpun mengembara, semua negara ditakhlukkannya termasuk negara Ngrancang Kencana. Petruk menjadi raja disana dan bergelar Prabu Wel Keduwelbeh. Sedangkan raja yang asli menjadi bawahannya. Begitulah ketika Punakawan kalau sudah mengeluarkan kesaktiannya tidak ada manusiapun yang dapat menandinginya.
Ketika akan mewisuda dirinya, semua raja negara bawahan yang ditaklukkannya hadir termasuk Astina. Yang belum hanya Pandawa, Dwarawati, dan Mandura. Semula ketiga raja negara tersebut tidak mau hadir, tetapi setelah Pandawa dan Mandura dikalahkan akhirnya Raja Dwarawati  (Prabu Kresna) menyerahkan hal ini kepada Semar. Oleh Semar Gareng dan Bagong diajukan sebagai wakil dari Dwarawati. Terjadilah peperangan yang sangat ramai antara Prabu Wel Keduwelbeh dengan Gareng dan Bagong, peperangan tidak segera berakhir karena belum ada yang menang dan belum ada yang kalah, sampai ketiganya berkeringat. Gareng dan Bagong akhirnya bisa mengenali bau keringat saudaranya Petruk dan yakin bahwa orang yang mengajak bertarung itu sesungguhnya adalah Petruk, maka mereka tidak lagi bertarung kesaktian tetapi malah diajak bercanda, berjoged bersama, dengan berbagai lagu dan tari. Wel Geduwelbeh merasa dirinya kembali ke habitatnya, lupa bahwa dia memakai pakaian kerajaan. Setelah ingat ia segera lari meninggalkan Gareng dan Petruk. Wel Geduwlbeh dikejar oleh Gareng dan Bagong setelah tertangkap,  sang prabu dipeluk dan digelitik oleh Bagong sampai Petruk kembali ke wujud aslinya.
Setelah terbuka semua Petruk ditanya oleh Kresna mengapa ia bertindak seperti itu. ia beralasan bahwa tindakan itu untuk mengingatkan tuannya bahwa segala perilaku harus diperhitungkan terlebih dahulu. Contohnya saat membangun candi Sapta Arga, kerajaan ditinggal kosong sehingga kehilangan jimat Kalimasada. Bambang Irawan jangan mudah percaya kepada siapa saja. Kalau diberi tugas sampai tuntas jangan dititipkan kepada siapapun. Setelah menjadi raja jangan sombong  dan meremehkan rakyat kecil, karena rakyat kecil kalau sudah marah / memberontak pimpinan bisa berantakan. Dengan cara inilah Petruk ingin menyadarkan tuannya, karena kalau secara terang-terangan pasti tidak dipercaya bahkan mungkin dimarahi. Bagaimanapun Petruk merasa bersalah, kemudian ia minta maaf. Pandawapun akhirnya memaafkan Petruk dan dengan senang hati menerima nasihat Petruk.
Inti pendidikan budi pekerti yang bisa diambil dari cerita diatas yaitu:
-         Budi dan watak tidak dapat diukur dari penampilan/ fisik, tetapi dengan perilaku nyata.
-         Bawahan harus setia pada atasan.
-         Mengerjakan tugas hingga tuntas dan diusahakan berhasil dengan baik.
-         Jangan merebut hak dan milik orang lain.
-         Semua tindakan harus dengan penuh perhitungan, jangan ceroboh dan tergesa-gesa mengambil keputusan.
-         Milikilah watak momong, momot, momor,mursid, dan murakabi.
-         Kalau sudah mulia jangan terlena.
-         Kalau salah harus berani mengakui dan meminta maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar